SuarIndonesia – Sosial media adalah wadah komunikasi efektif yang mudah diakses, terukur, dan siapapun bisa menjadi produsen dan sekaligus konsumen informasi.
Jika dilihat dari aspek penggunaan sosial media tentu sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan informasi dalam menambah wawasan dan pengetahuan, termasuk kebutuhan akan hal yang menyenangkan, kebutuhan akan kredibilitas dan kepercayaan status individu.
Di sisi lain juga untuk memenuhi kebutuhan sosial manusia menjalin kekerabatan yang mendasari seseorang berinteraksi antar personal atau kelompok untuk mengenali lingkungannya.
Disamping itu juga untuk memenuhi kepuasaan karena keingintahuan atau penyelidikan.
Berbicara dalam konteks politik menjelang perhelatan pesta demokrasi pada 2024, dewasa ini keterbukaan informasi di sosial media mewadahi lahirnya komunitas dan konektivitas yang dapat mengundang massa berkontribusi dari segala generasi.
Juga menjadi opsi efektif sebagai sarana branding untuk menggantikan kampanye konvensional dalam melancarkan strategi politik melalui konten yang mempengaruhi akuntabilitas publik sebagai bagian dari partisipan politik.
Partisipan politik adalah individu dalam kelompok yang memiliki visi misi mempengaruhi kebijakan pemerintah, ideologi dalam menjalankan prinsip realisasi demokrasi pada Pemilihan Umum dan Kepala Daerah (Pemilukada).
Beberapa konsep tersebut dapat dijadikan landasan dalam kegiatan kampanye aktif untuk menggalang opini, membangun antusias tinggi dari publik agar terpenuhinya harapan buzzer.
Namun sayangnya dalam hal ini peran buzzer sering kali dipergunakan dalam black campaign (kampanye hitam) yang merujuk pada aktivitas penggiringan opini, menjatuhkan lawan pasangan calon dengan menebarkan benih isu negatif yang tidak berdasar.
Terlebih lagi, kebebasan pengguna sosial media yang memungkinkan seseorang memiliki banyak identitas serta jenis avatar membuka kesempatan bagi siapapun dapat bersembunyi di balik anonimitas yang merujuk pada sifat ketidakpastian atau ketidakjelasan sehingga berujung pada disinformasi.
Disinformasi adalah kesimpangsiuran informasi yang sengaja dibuat untuk melemahkanliterasi yang mengakibatkan sulitnya membedakan opini, dan fakta.
Saat perkembangan Artificial Intelligence (AI) semakin pesat seperti sekarang ini, maka mekanisme AI akan semakin canggih untuk memanipulasi dan membodohi sesama manusia, sehingga itu menjadi alat menjamurnya disinformasi (penyebarluasan informasi palsu), hak cipta, privasi yang berkenaan dengan akses digital ilegal, dan isu hoax.
AI sendiri merupakan teknologi komputer yang mengadopsi kecerdasan manusia yang mencakupi desain, tugas, pengembangan, dan penyelesaian masalah setara dengan cara berpikir manusia dengan output yang sangat mengagumkan.
Salah satunya teknologi AI adalah Deepfake, yakni teknologi yang dapat mereplika foto, video, suara seseorang yang dapat diganti dengan milik orang lain.
Meski diketahui awalnya penggunaan AI untuk mengedit foto hanya menjadi meme namun tak jarang dijumpai pada konten atau poster yang disematkan pesan menohok yang menjadi bumbu provokasi.
Diketahui belakangan ini setidaknya ada sejumlah kasus yang muncul menggunakan konten deepfake yang kemudian menimbulkan masalah ketika sudah tersebar luas di internet atau media sosial.
Persoalan yang muncul menyebabkan timbulnya gugatan dari korban karena merasa dirugikan hingga masalah akurasi yang ternyata keliru dan tidak relevan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ada sejumlah kasus yang dapat mengingatkan kita.
Pertama, pada kasus unggahan video impersonate Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri yang menggendong Jokowi Widodo oleh akun Facebook bernama Welly, yang diketahui juga adalah Ketua FPI Kecamatan Galang, Sumatera Utara.
Kasus yang berujung pada proses penyidikan di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut dan telah ditetapkan Willy sebagai tersangka, dan proses hukumnya masih terus berjalan.
Kedua, menjelang Pilpres muncul propaganda bahwa Jokowi merupakan antek zionis yang beretnis tionghoa non muslim sementara Prabowo dituduh sebagai warga negara yang tidak setia pada Indonesia karena pernah berpindah status kewarganegaraan Yordania selama dua tahun.
Ketiga, isu negatif Jokowi hanyalah boneka dari Megawati dan antek asing sementara Prabowo disebutkan sebagai orang yang terlibat dalam kasus HAM pada 1998. Berbagai isu tersebut tersebar luas di media sosial, dipercaya sebagian masyarakat.
Ke depan cara-cara semacam ini mesti dicegah, selain dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan media sosial sehingga tidak ikut memproduksi dan menyebar hoaks, pendekatan atau penegakan hukum juga juga perlu dilakukan.
Proses hukum terhadap penyebar hoaks penting untuk menjaga kebenaran informasi, melindungi masyarakat dari disinformasi, dan meminimalisir dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran hoaks.
Hal ini tentu saja juga akan membantu membangun kepercayaan terhadap informasi yang disampaikan dan mencegah ketidakpastian di masyarakat.
Penegakan hukum terhadap penyebar hoaks di media sosial memiliki
beberapa dampak positif, antara lain : Pertama, kredibilitas informasi. Dengan adanya proses hukum terhadap penyebar hoaks, pengguna media sosial dapat lebih percaya terhadap informasi yang mereka terima, karena mereka tahu bahwa ada konsekuensi bagi mereka yang menyebarkan informasi palsu.
Kedua, pencegahan disinformasi. Proses hukum dapat menjadi penghalang bagi individu yang ingin dengan sengaja menyebarkan hoax. Hal ini dapat membantu mengurangi penyebaran disinformasi di platform media sosial.
Ketiga, Perlindungan Masyarakat.
Pengguna media sosial akan lebih terlindungi dari potensi kerugian atau dampak negatif yang diakibatkan oleh penyebaran hoaks, seperti ketidakpastian, panik, atau kerusakan reputasi.
Keempat, peningkatan kesadaran. Proses hukum terhadap penyebar hoaks juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memverifikasi informasi sebelum membagikannya di media sosial.
Kelima, penghormatan terhadap etika digital. Penegakan hukum dapat mendorong pengguna media sosial untuk lebih mematuhi etika digital dalam berbagi informasi, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan yang lebih positif dan informatif di platform tersebut.
Namun, perlu diingat bahwa implementasi proses hukum terhadap penyebar hoaks harus dilakukan dengan cermat dan sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan berbicara (hak sipil) dan politik atau hak asasi manusia. Sesuatu yang juga penting dan diperlukan dalam negara demokrasi. (**)
Oleh : Winda Andrini Wulandari
Dosen Universitas Cahaya Bangsa