SuarIndonesia – Ahli bidang tindak pidana pencucian uang Ardhian Dwiyoenanto yang dihadirkan JPU KPK pada sidang dengan terdakwa Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid.
Ia mengakui kalau ada dugaan uang hasil kejahatan yang dibeli atau di tabung merupakan penyamaran yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pencucian uang.
Ahli yang berasal dari Kantor Pusat Pelaporan Analsis Transaksi Keuangan (PPATK) Jakarta tersebut lebih jauh menyebutkan aset yang dibeli dari uang tindak kejahatan.
Walaupun digunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk tempat ibadah, tetapi dapat dikatakan sebagai tindak pencucian uang.
“Begitu juga bila hasil kejahatan tersebut membeli aset mengatasnamakan orang lain maupun keluarga terdekat, tetap sebagai pencucian begitu juga beli aset tersebut diusahakan seperti pembelian burung sarang walet hasilnyanya merupakan tindak pidana pencucian uang,’’ Ardhian, kepada awal media usai sidang,.
Sidang lanjutan yang berlangsung secara virtual tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Senin (25/7/2022) dengan majelis hakim yang dipimpin hakim Yusriansyah.
Ahli meilustrasikan adanya hasil korupsi yang dipergunakan untuk berusaha maka nilainya akan bertambah dari hasil keuntungan, semuanya itu dapat di rampas untuk negara.
Sementara salah seorang anggota JPU Tito Zailani kepada awak media menyebutkan kalau ahli yang dihadirkan tersebut dapat memperkuat dakwaan yang disampaikan.
“Intinya apa yang kami dakwaan kepada terdakwa jelas merupakan tindak pidana pencucian uang seperti yang dikatakan ahli,’’ beber Tito
`
`Hal ini sesuai pula pada dakwaan kami soal pencucisn yakni pasal 3 maupun 4 UU Tindak Pidana Pencucian uang,’’ katanya.
Terdakwa yang didakwa JPU karena terlibat dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di Amuntaui, didakwa dengan sejumlah dakwaan alternatif.
Pertama Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Alternatif kesatu yang kedua, Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 12B UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian dakwaan alternatif ketiga yang kesatu, Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Lalu alternatif ketiga yang kedua, Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (HD)