SuarIndonesia – Saksi Christian selaku Direktur PT PCN yang merupakan adik kandung Hendri Setio (alm) dihadirkan.
Menurut saksi ia mulai aktif sebagai Direktur PT PCN menggantikan almarhum kakaknya Hendri Setio sejak tahun 2021,.
Dan kejadiaan sebelum tahun itu ia hanya mendengar dan melihat dokumen perusahaan.
Menurut saksi aliran dana kepada terdakwa pada umumnya tidak langsung ditranfer kepada terdakwa, tetapi melalui perusahaan PT Trans Surya Perkasa (TSP) dan PT Permata Abadi Raya (PAP)
Sebagai contoh saksi mengemukakan bahwa wakau mentransfer uang fee yang jumlah sekitar Rp4 memlalui Robert Budiman kepada Rois Sunandar yang meruakan adik dari terdakwa.
Hal ini tersirat pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kamis (15/12) di depan majelis hakim yang dipimpin hakim Heru Kuntjoro SH MH dengan JPU Budi Serumpai SH MH, diatas sumpah saksi Christian kembali mengatakan kalau dana untuk Mardani H Maming total seluruhnya sebesar Rp 150 Miliar.
Hal tersebut semuanya berdasarkan catatan perusahaan. Menurut saksi terkait pengiriman uang sebanyak itu ia ketahui berdasarkan catatan perusahaan PT PCN, yang ia ketahui setelah dirinya diangkat menjadi Direktur Utama PT PCN tahun 2021 menggantikan Hendri Setio kakak kandungnya yang telah meninggal.
Ketika ditanya JPU, majelis hakim maupun penasehat hukum terdakwa terkait uang sebanyak itu yang disebutkan saksi sebagai uang fee.
Apakah ada juga dalam catatan pembukuan perusahaan? saksi mengatakan tidak ada.
Pengakuan saksi sempat menjadi perdebatan antara penasehat hukum terdakwa, karena ketika tim penasehat hukum ingin menegaskan tentang pernyataan saksi, apakah langsung mengalami atau melihat sendiri?.
Saksi mengatakan hanya berdasarkan keterangan atau cerita Hendri Setio.
Pun ketika majelis hakim menanyakan, apakah semua uang yang ditransfer PT PCN ke PT TSP dan PAR ada menyebutkan atau tertera nama terdakwa Mardani H Maming, saksi mengatakan tidak ada.
Namun secara tegas saksi Christian mengatakan bahwa dua perusahaan yakni PT TSP dan PAR didirikan untuk mengalihkan penyaluran fee.
Ketika ditanya penasehat hukum kapan semua itu terjadi (bulan dan tahunnya)? Saksi mengatakan tidak tahu.
“Awalnya saya tidak tahu, tetapi setelah saya diangkat menjadi Direktur PT PCN pada tahun 2021, baru saya berdasarkan pembukuan atau pengeluaran,” aku saksi.
Sementara saksi Rezy Ernas Christa Setia staf keuangan PT PCN, namun karena saksi telah meninggal dunia, maka keterangannya hanya dibacakan.
Penasehat hukum terdakwa sempat keberatan, karena kesaksian tidak dikupas secara detail. Namun oleh majelis hakim keterangan saksi tetap dibacakan sesuai BAP.
Dalam BAP saksi Rezy Ernas Christa Setia memberikan kesaksian terkait bukti uang keluar atau yang ditransfer PT PCN ke PT TSP dan PAR.
Sementara salah seorang penasihat hukum terdakwa, Abdul Kadir diwakatu rehat mengatakan keada awak media masalah kesehatan almarhum Rezy akan di sampaikan dalam nota pembelaannya.
Pasalnya dalam kesaksian yang dibacakan tersebut tidak bisa dilakukan tanya jawab.
Dalam dakwaan yang disampaikan JPU KPK, terdakwa diduga menerima hadiah dari pengusaha untuk pengalihan Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Berdasarkan ketentuan kealihan IUP tersebut tidak diperbolehkan, tetapi terdakwa tetapi mengabulkan pengalihan tersebut.
Hadiah yang diterima terdakwa berasl dari Pimpinan PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Almarhum Hendri Setio, yang dilakukan secara bertahap dengan nilai Rp 118 M lebih, dalam rentang tahun 2014 hingga tahun 2020.
Pengaliran dana tersebut diduga disamarkan dalam sejumlah transaksi korporasi antara PT PCN dengan sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani.
Dugaan suap itu diduga didasari atas jasa terdakwa yang disebut turut berperan dalam pengambilalihan IUP operasi dan produksi dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN Tahun 2011.
Jaksa Penuntut Umum KPK, M Asri Irwan dalam dakwaannya menyebutkan kalau terdakwa didakwa alternatif pertama melanggar pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan alternatif kedua melanggar pasal 11 Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (HD)
529 kali dilihat, 4 kali dilihat hari ini