SuarIndonesia–Ungkapan di perkara gratifikasi Bendungan Tapin, ada sampaikan ini ranah perdata hingga merasa aneh.
Ini dari tim penasihat hukum terdakwa mntan Kepala Desa Pitak Jaya Kecamatan Piani Kabuoaten Tapin, Rahmi Fauzi.
Mereka menilai menilai kalau perkara klienya termasuk ranah hukum perdata, bukan ranah pidana apalagi tindak pidana korupsi.
Sementara tim pensihat hukum dua terdakwa lainnya, yakni terdakwa Ahmad Rizaldy dan Herman dari Kantor Hukum Marudut Tambulon dan rekan menilai dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap sangat membinggungkan.
Sehingga batal demi hukum, serta mengembalikan harkat dan martabak kleinyanya.
Menurut Honda Dinata dari Kantor Hukum Rahmi Fauzi, mengakui kalau kliennya tidak tepat di pidana, tetapi memasuki ranah perdata. Karena anatar klienya dengan korban sudah ada kesepakatan.
Hal ini disampaikan oleh kedua pensihat hukum terdakwa dalam eksepsinya di pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor) Banjarmasin, Senin (19/6/2023) di hadapan majelis hakim yang diketuai hakim Suwandi.
Yang lebih aneh ujar Honda, dalam kasus gratifikasi seperti yang dituduhkan kepada kliennya, mana si pemberi. Seharusnya perkara gratifikasi ada penerima dan pemberi.
“Dikatakan korupsi, sementara kliennya tidak ada berhubungan dengan pemerintah secara langsung dalam hal ganti rugi lahan tersebut.
Tetapi berhubungan langsung dengan korban penerima uang ganti rugi,’’ beber Honda Dinata, kepada awak media usai sidang.
“Jadi aneh kalau klien kami dikatakan melakukan korupsi apalagi adanya dakwaan tindak pidana pencucian uang,’’ tambahnya.
Ketiga terdakwa tersebut yang disidang secara terpisah, terdiri dari mantan Kepala Desa Pitak Jaya Kecamatan Piani Tapin Sugianoor, Ahmad Ruzaldy guru SDN Bakarangan dan Herman warga Pitak Jaya.
Ketiga selain diduga melakukan tindakan gratifikasi juga didakwa melakukan tindakan pencucian uang.
Menurut JPU Dwi Kurnianto, ketiga secara bersama sama melakukan pemotongan 50 persen dari lima korban yang mendapatkan ganti rugi dari pembebasan lahan untuk pembangunan bendung Tapin.
Dalam dakwaan tersebut, Sugianoor menerima sebesar Rp 800 juta, Ahmad Rizaldy dikisaran angka Ro 600 juta rupiah dan Herman yang merupakan warga setempat jumlah justru paling besar Rp 945 juta lebih.
Umumnya yang menjadi korban dari kelima penerima uang ganti rugi tersebut, karena surat surat tidak lengkapi dan pengurusanya kelengjkapan tersebut dilakukan oleh ketiga terdakwa.
Sebetulnya ujar JPU kelima korban ini tidak mau untuk memberikan sebesar yang diminta.
Tetapi karena kelengkapan surat surat tanah yang dimiliki kurang. Mereka terpaksa memberikan apa yang diminta.
Sugian yang merupakan orang nomor satui di desa Pitak Jaya tersebut uang yang diperoleh digunakan untuk umrah sekeluarga, beli lahan selain untuk membayar mahar perkawinan anaknya.
JPU kepada ketiga terdakwa dikenakan pasal gratifikasi yang sama yakni pasal 12 huruf e Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan undang undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Kedua pasal 11 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman diubah dengan undang undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan pelanggaran tentang pencucian uang, JPU pertama mematok pasal 3 UU RI No.8 tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan kedua pasal 4 UU RI No.8 tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedangkan untuk terdakwa Herman karena orang swasta, dikenakan pasal 3 untuk yang pertamna dan kedua pasal 5 UU RI No.8 tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Seperti diketahui, bendungan yang menghabiskan anggaran mencapai Rp 1 triliun ini merupakan merupakan proyek tahun jamak antara 2015 sampai 2020.
Dalam kasus ini, sudah ada 20 orang yang dijadikan saksi dan diperiksa.
Dari pemilik tanah, kepala desa, hingga mantan kepala BPN Tapin.(HD)