SuarIndonesia – Sidang lanjutan dugaan kasus gratifikasi terkait IUP di Kabupaten Tanbu digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Kamis (24/11/2022).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “kejar” (arahkan) pernyataan soal fee Jasa Pelabuhan PT ATU, yang ada kaitan dengan terdakwa Mardani H Maming, sewaktu menjadi Bupati Tanah Bumbu.
Persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim, Heru Kuntjoro sedangkan terdakwa dihadirkan secara virtual dari Gedung Merah Putih KPK di Jakarta.
Dari target 10 saksi, hanya 8 saksi yang dapat dihadirkan di ruang sidang oleh JPU KPK. Sebanyak 6 saksi hadir secara langsung dan 2 secara virtual.
Mereka di antaranya seorang advokat, Junaidi, Mantan Komisaris PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Stefanus, Mantan Dirut PT Permata Abadi Raya, Wawan Setiawan dan Mantan Direktur PT Trans Surya Perkasa (TSP), M Aliansyah.
Selain itu ada pula 4 saksi lainnya yakni Mantan Kepala Desa Sebamban Baru, Ilmi Umar lalu pihak swasta, Buyung serta Suroso Adi Cahyo dan Idham Chalid yang pada pekan lalu batal diperiksa kesaksiannya.
Advokat Junaidi yang memiliki hubungan pertemanan dengan terdakwa dan Mantan Dirut PT PCN, almarhum Henry Soetio diperiksa pertama kali pada sidang.
Kepada saksi Junaidi, JPU KPK dipimpin Budhi Sarumpaet menggali terkait bagaimana asal usul pembagian fee jasa pelabuhan PT ATU terhadap para pemiliknya yakni PT PCN yang dikuasai almarhum Henry dan PT PAR yang disebut terafiliasi dengan terdakwa.
Dimana PT PCN memiliki saham dominan sebesar 70 persen dan sisanya 30 persen saham dimiliki PT ATU.
Saksi menyebut, saat beroperasional mengapalkan batubara hasil tambang PT PCN, seluruh kegiatan operasional usaha PT ATU didanai PT PCN sedangkan PT PAR tak memiliki andil apapun namun tetap mendapatkan fee sebesar Rp 10 ribu per metrik ton.
Fee Rp 10 ribu itu kata dia diberikan karena PT PAR memiliki saham sebesar 30 persen pada PT ATU.“Karena fee PT ATU itu Rp 30 ribu per metrik ton.
Jadi seperti sahamnya 30 persen itu sepertiga, jadi fee sepertiga dari Rp 30 ribu itu Rp 10 ribu untuk PT PAR,” terangnya.
Ketika ditanya Penuntut Umum KPK apakah perjanjian kerjasama pembagian fee itu sebenarnya hanya merupakan kesepakatan merealisasikan balas jasa dari Henry kepada terdakwa karena telah membantu pengalihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN ?.
Junaidi membenarkannya.“Henry bilangnya begitu ke saya,” ujar Junaidi lagi.
Meski demikian, ketika ditanya Tim Penasihat Hukum terdakwa yang dipimpin Abdul Qodir soal struktur PT PAR, Junaidi tak menampik jika pada susunan direksi maupun kepemilikan saham PT PAR tak tercantum nama terdakwa, Mardani H Maming.
Fee Rp 10 ribu per metrik ton yang dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dikatakan sebagai gratifikasi yang diterima oleh terdakwa dari Henry itu rupanya menurut Junaidi tak seluruhnya dibayarkan.
Pasalnya Junaidi mengakui di Tahun 2020 pernah memediasi terkait macetnya pembayaran fee dari PT ATU ke PT PAR yang mencapai Rp 94 miliar.
Hutang fee itu coba dibayar menggunakan 12 lembar bilyet giro, itu pun hanya 2 yang dapat dicairkan.
Menariknya dalam kererangan saksi, dimana dalam kesaksiannya mengaku sebagai orang yang diminta oleh terdakwa Mardani selaku Lawyernya dan bertugas selaku mediasi terkait permasalahannya dengan Hendri.
Namun disayangkan apa yang telah diterangkan di hadapan persidangan hampir semua dibantah oleh terdakwa.
”Anehnya, bagaimana mungkin seorang yang diminta memediasi uang tagihan sebesar Rp 94 miliar tersebut tidak dibayar sama sekali,” tarangnya.
Ditegaskan, dan sesuai keterangan kliennya tadi bahwa hampir semua keterangan saksi tadi terkesan bertentangan dengan fakta sebenarnya.
Tambahnya lagi, dan perlu dibawahi bahwa Mardani H Maming pada tahun 2020 tersebut sudah bukan sebagai Bupati Tanah Bumbu lagi.
Selesai memeriksa Junaidi, pemeriksaan terhadap 7 saksi lainnya dilakukan berurutan dan diselingi dua jeda ishoma.
Majelis Hakim kembali menjadwalkan sidang pada selanjutnya, dan agenda pemeriksaan saksi, pada Jumat (25/11/2022).
Diberitakan sebelumnya, dalam perkara ini Maedani didakwa Jaksa Penuntut Umum KPK menerima gratifikasi bernilai ratusan miliar dari almarhum Henry Soetio.
Ia didakwa menggunakan dua dakwaan alternatif. Pertama yakni Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lalu pada dakwaan alternatif kedua Pasal 11 Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (ZI)
1,913 kali dilihat, 1 kali dilihat hari ini