SuarIndonesia – Terpidana yang teribat perkara komitmen fee di Dinas PUPR Kabupaten HSU (Hulu Sungai Utara), Fachriadi selaku Direktur CV Kalpataru.
Ia mengharapkan semua pejabat maupun kontraktor yang terlibat komitmen fee agar diajdikan tersangka.
Hal in dukung pula oleh terpidana Marhaini selaku Direktur CV Hanamas, agar penegak hukum jangan tebang pilih dalamm memberantas korupsi di HSU.
Hal ini disampaikan kedua terpidana tersebut, ketika diajukan sebagai saksi dari empat saksi oleh JPU KPK dengan terdakwa Bupati HSU Nonaktof, H Abdul Wahid, pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Senin (13/6/2022) malam.
“Saya mohon Pak Hakim, semua yang menyuap agar dijadikan tersangka (oleh KPK). Jangan hanya saya berdua (Direktur CV Hanamas Marhaini) saja,” kata Fachriadi, di hadapan majelis hakim yang diketuai hakim Yusrinasyah yang didamping hakuim adhock A Gawie dan Arif Winarno.
Menjawab beberapa pertanyaan lebih lanjut Fachriadi menyebut bukan hanya Maliki dan Abdul Wahid yang menikmati fee proyek Dinas PUPRP HSU.
Fachriadi mengatakan para pejabat di dinas basah seperti Kabid Bina Marga PUPRP HSU Rahmani, Kabid Cipta Karya PUPRP HSU Abraham Radi hingga Kasi Jembatan Bina Marga PUPRP HSU, Marwoto.
“Mereka itu semuanya aparatur sipil negara (ASN). Sebab, mereka juga telah menerima suap fee proyek dari para kontraktor,” cetus Fachriadi.
Sementara saksi Hairiyah salah seorang karyawan dui lingkungan Bidang Sumber Daya Air di PUPRP HSU, berterus terang menyebut jika semua proyek Dinas PUPRP HSU sudah diatur siapa pemenangnya.
Dengan catatan asal bayar fee proyek dengan kisaran 13-15 persen. Hairiyah menyebut ada dua aktor di balik bagi-bagi proyek hingga pengenaan komitmen fee adalah Maliki dan Wahid.
Kesaksian tiga saksi mahkota dan Hairiyah pun langsung dibantah Wahid. Bupati HSU dua periode ini menepis adanya pertemuan di Mess Pemda di Amuntai membahas soal bagi-bagi proyek bersumber dari APBD Perubahan HSU 2020.
“Proyek bidang cipta karya maupun bina marga yang bersumber dari APBD Perubahan 2020 dikhawatirkan justru akan dikerjakan adik Maliki, yakni Mahyuni.
Kalau adik Maliki main proyek, justru pekerjaannya tidak maksimal. Itu yang saya khawatirkan,” sahut Wahid.
Sidang yang berlangsung secara virtual tersebut, juga menghadirkan saksi Mantan Plt Kadis PUPRP Maliki kini menyandang status terpidana, mengungkapkan peranan terdakwa Abdul Wahid soal komitmen fee proyek.
Itu ketika menjawab pertanyaan Tito Zaelani salah seorang JPU KPK, ada pertemuan dengan terdakwa .
Maliki bercerita pada 2020 pernah dipanggil Wahid menghadap di Mess Pemda di Amuntai. Maliki tak sendiri, karena didampingi Kabid Cipta Karya PUPRP HSU Abraham Radi, Kabid Bina Marga Rahmani dan Marwoto, saat itu menjabat Kasi Jembatan Bina Marga PUPRP HSU.
Di hadapan para pejabat ‘dinas basah’ itu, Wahid mengungkapkan bahwa dalam APBD Perubahan 2020 ada kucuran dana segede Rp 193 miliar.
Porsinya dibagi Rp 8 miliar untuk Cipta Karya dan Rp 183 miliar bagi Bina Marga.
“Karena ada perubahan anggaran di APBD HSU 2020, Pak Wahid meminta komitmen fee sebesar 13 persen untuk kontraktor pelaksana proyek,” ungkap Maliki.
Diakui Maliki, sebelum pertemuan bicarakan proyek pada 2020 bersama sang bos, dirinya sudah menyetor komitmen fee sebesar Rp 404 juta.
Dana itu merupakan akumulasi dari para kontraktor yang dikumpulkan Maliki saat masih menjabat Kabid Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPRP HSU pada 2018.
“Uang Rp 404 juta itu saya serahkan kepada ajudan Bupati Wahid bernama Abdul Latif,” kata Maliki.
Masih banyak lagi dana fee yang dierahkan kepada terdakwa, kalau tidak salah hitung mungkin dikisaran Rp 2M.
Seperti diketahui Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Fahmi SH MH, mendakwa Abdul Wahid dengan sejumlah dakwaan alternatif.
Pertama Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Alternatif kesatu yang kedua, Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dakwaan alternatif kedua yaitu Pasal 12B UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian dakwaan alternatif ketiga yang kesatu, Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Lalu alternatif ketiga yang kedua, Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (HD)